Peran Strategis Pesantren dalam Menanamkan Karakter pada Generasi Bangsa

Dalam sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia, peran pendidikan “pesantren” yang merupakan nenek moyang dari sistem pendidikan di Indonesia memiliki andil yang sangat besar. 

 

Datangnya kolonialisme di Indonesia terutama bangsa Belanda, diperkenalkanlah pendidikan “sekolah” yang bercorak sekularistik, yaitu meminimalisasi muatan materi pendidikan agama di lembaga pendidikan. Akhirnya timbullah gagasan untuk memadukan pendidikan tradisional Islam  dalam bentuk “pesantren”.

 

Ini menjadi bukti bahwa Indonesia sudah sejak lama memiliki model pendidikan yang sukses membentuk karakter anak bangsa dengan penekanan yang lebih pada pendidikan agama yang terlembagakan dalam sistem pendidikan “pesantren”. 

 

Menurut Nurcholis Madjid, pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. 

 

Dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenousness). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada.

 

Jadi bisa dikatakan bahwa pesantren-lah yang menjadi soko guru pendidikan di Indonesia, dimana seharusnya nilai-nilai pesantren harus menjadi rujukan utama dalam mewujudkan pendidikan karakter atau akhlak mulia di Indonesia ini. 

 

Karakter pendidikan pesantren berasal dari nilai-nilai yang tertanam dalam lingkungan pesantren itu sendiri. Nilai-nilai yang menjadi ruh pesantren menjadi penting untuk kembali dijadikan pusat perhatian dalam pengimplementasian pendidikan akhlak atau karakter di Indonesia.

 

Menurut Abdurrrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus dur, sistem nilai yang berkembang di pesantren memiliki perwatakan tersendiri, kesemuanya ada tiga nilai yang tumbuh di pesantren. 

 

Nilai pertama, adalah cara memandang kehidupan secara keseluruhan sebagai ibadah. Semenjak pertama kali memasuki kehidupan pesantren, seorang santri sudah diperkenalkan pada sebuah dunia tersendiri, dimana peribadatan menempati kedudukan tertinggi. 

 

Nilai kedua adalah kecintaan yang mendalam pada ilmu-ilmu agama. Kecintaan itu dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti penghormatan seorang santri yang sangat dalam kepada ahli ilmu-ilmu agama, kesediaan berkorban dan bekerja keras untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut, dan kerelaan bekerja untuk nantinya mendirikan pesantrennya sendiri sebagai tempat menyebarkan ilmu-ilmu itu.

 

Pada nilai ketiga, adalah adanya keikhlasan atau ketulusan bekerja untuk tujuan-tujuan bersama. Menjalankan semua yang diperintahkan kiai dengan tidak ada rasa berat sedikitpun, bahkan dengan penuh kerelaan adalah bukti nyata yang paling mudah untuk dikemukakan bagi nilai utama ini.

 

Nilai-nilai luhur sistem pendidikan pesantren telah teruji mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki jati diri cinta peribadatan, mencintai ilmu-ilmu agama dan memiliki rasa keikhlasan yang mendalam untuk bekerja demi tujuan-tujuan bersama. 

 

Wujudnya adalah lahirnya generasi bangsa yang tidak hanya cerdas intlektual dan spiritual, tetapi juga berjiwa humanis, dengan selalu mencintai bangsa dan negaranya, serta sesamanya. (pl)

Post a Comment

Previous Post Next Post