Tantangan dan Peluang Madrasah di Era Disrupsi dan Revolusi Industri 4.0

Zaman sudah semakin berkembang, persaingan serta tantangan menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Era kemajuan ini biasa disebut dengan era disrupsi. Apa itu era disrupsi? 

 

Menurut KBBI disrupsi adalah hal yang tercabut dari akarnya. Apabila diartikan dalam bahasa sehari-hari disrupsi dapat berarti perubahan yang mendasar atau fundamental. 

 

Era disrupsi ini merupakan fenomena ketika masyarakat menggeser aktifitas-aktifitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya. Fenomena ini berkembang terutama pada perubahan pola dunia bisnis. Kemunculan transportasi digital atau daring adalah salah satu contoh yang paling populer di Indonesia.

 

Neil Postman (2005) dalam bukunya “The End of Education” telah lama mengingatkan bahwa matinya pendidikan karena pengelolaan pendidikan kehilangan arah, yang terlihat hanya orang sibuk mengurus pendidikan yang tidak terarah itu. 

 

Belakang hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya lulusan pendidikan vokasi yang menganggur, banyak generasi bangsa yang melupakan nilai luhur kebangsaan, lunturnya nasionalisme, lunturnya karakter gotong royong, lunturnya sikap toleransi, timbulnya generasi Z dan Y yang ingin semua serba instan tanpa kerja keras, dan banyak lagi pergeseran nilai lainnya.

 

Untuk mampu bertahan hidup di era disruptif ini, setiap warga madrasah, baik sebagai individu dan institusi harus merubah paradigma berpikir dan cara berkehidupan. 

 

Asumsi Charles Darwin yang menyatakan bahwa keberlangsungan hidup manusia sangat ditentukan dari kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi sebagai dampak dari proses pembelajaran yang dialaminya. Asumsi tersebut barangkali masih sangat relevan di era disruptif ini.

 

Rhenald Kasali (2017) dalam bukunya “Disruption” mengingatkan, “tidak ada yang tidak bisa diubah sebelum dihadapi, motivasi (harapan dan keinginan) saja tidak cukup”. Di bagian lain, kembali ia mengingatkan, “setiap orang harus tahu posisi dirinya dan tahu harus kemana ia melangkah (where we are, and where we are going to).

 

Untuk menjawab tantangan era tersebut, madrasah perlu merespon dengan arif dan bijaksana, perlu inovasi dan kreatifitas tetapi juga tetap menjaga nilai khas madrasah yang bermuatan pesantren agar tetap ada dan terus ada dalam aktifitas penyelenggaraan pendidikan madrasah. Nilai tafaqquh fiddin harus menjadi jati diri lulusan madrasah, dengan bekal kompetensi terapan tertentu.

 

Madrasah di era disruptif ini harus mampu mempertahankan muatan pesantren dengan ciri khas pendidikan karekater dan jati diri luhur berlandaskan nilai-nilai agama dan cinta tanah air. Sebagaimana pendidikan pesantren mampu menghasilkan generasi bangsa yang mampu berkiprah pada tingkat regional, nasional, maupun Internasional. 

 

Untuk menjawab era disrupsi atau revolusi industri 4.0 sebagaiman pendidikan pesantren sudah membuktikannya, Jeffrey H. Dyer, Hal B. Gregersen, and Clyton M. Christensen (2013) dalam bukunya “The Innovator’s DNA”, mengemukakan 5 (lima) “Discovery Skill of True Innovator”, yakni; associating; questioning, observing, experimenting, and networking.

 

Associating adalah kemampuan berpikir asosiasi. Sederhananya, kemampuan menghubungkan bidang ilmu, masalah atau ide, dimana orang lain memandangnya tidak berhubungan. Dalam menyelesaikan setiap masalah selalu ditinjau dari berbagai presfektif atau multi disipliner. 

 

Questioning adalah kemampuan bertanya yang sangat penting, namun terabaikan selama ini. Kemampuan mengamati (observing skill). Seorang innovator carefully, intentionally, and consistenly looks out for small behavioral details

 

Selanjutnya, kemampuan melakukan percobaan (experimenting skill). Seorang innovator selalu mencoba pengalaman baru dan mengemudikan ide-ide baru tersebut. Bagi mereka, tidak ada kegagalan, semua ketidakberhasilan melakukan eksprimen merupakan sebuah kesuksesan yang tertunda. Untuk hal ini, Thomas Alva Edison mengatakan, “I haven’t failed, I have found 10.000 ways that do not works.

 

Ketrampilan terakhir adalah kemampuan membangun jejaring (networking skill). Para inovator menghabiskan banyak waktu dan enerji untuk menemukan dan menguji ide-ide melalui berbagai jaringan individu dan sosial yang berbeda latar belakang dan prespektif, mencari secara aktif ide-ide baru dengan berbincang bersama orang yang memberi pandangan tentang sesuatu yang secara radikal berbeda.

 

Walhasil, dengan memiliki kemampuan tersebut, pesantren dan madrasah tetap akan menjadi lembaga pendidikan Islam yang memiliki posisi penting di Indonesia di era disrutif ini. 

 

Sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam dan penduduk muslim terbesar di dunia, lembaga pendidikan Islam memiliki peranan dalam meningkatkan kualitas manusia atau penduduk muslim di Indonesia. Pesantren dan madrasah harus konsisten berpegang teguh pada kaidah “al-muhafadhah ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-ahdzu bi al-jadid al ashlah”, yaitu menjaga tradisi keagamaan Islam dengan teguh melestarikan segudang khazanahnya dan memakai metode, manajerial, maupun pembelajaran modern yang baik. 

 

Semua itu, diperlukan dalam mengemban amanat mewujudkan generasi emas bangsa untuk mampu menjawab tantangan zaman dengan arif dan bijaksana, dengan tetap menjunjung tinggi nilai agama, bangsa, dan negara. (pl/kemenag)

Post a Comment

Previous Post Next Post